Rabu, 22 April 2009

Info

'netters..., bagi anda yang ingin berdiskusi melalui 'japri', jangan lupa sertakan alamat email anda.

Selasa, 21 April 2009

Peluang usaha pada rantai budidaya jamur

’netters..., peluang usaha pada rantai budidaya jamur tidak akan saya bahas secara dalam pada artikel kali ini, karena saya yakin ’netters sudah banyak yang tahu peluang usaha ini dari media-media masa yang belakangan sering meliput dan membahas topik tersebut. Namun perlu ’netters ketahui ada dua hal penting dalam usaha budidaya jamur menurut pendapat saya; pertama; apa yang dipublikasikan oleh media masa mengenai usaha budidaya jamur kebanyakan hanya membahas hal-hal yang indahnya saja, jarang sekali dibahas mengenai bagaimana keseluruhan konsep bisnisnya; kedua, usaha budidaya jamur termasuk dalam kategori usaha yang high gain - high risk artinya usaha budidaya jamur ini berpeluang memberikan keuntungan yang relatif sangat besar tetapi sekaligus juga beresiko tinggi, karena usaha budidaya jamur adalah agrobisnis dimana kondisi alam (iklim, suhu, kelembaban, cahaya, dll) sangat berpengaruh. (Terkecuali bila anda memiliki modal yang cukup besar untuk membuat climate chamber, sehingga budidaya jamur tidak dipengaruhi oleh perubahan kondisi alam).

Dari kedua hal yang saya kemukakan tersebut intinya adalah ’netters harus mempelajari dan menghitungnya dahulu secara cermat peluang usaha ini sebelum memutuskan untuk menekuninya. Tidak sedikit usahawan budidaya jamur yang tumbang di tengah jalan sebelum benar-benar merasakan keuntungannya. Kebanyakan dari mereka adalah new comer yang kurang memahami konsep bisnis budidaya jamur dan kurang sabar menjalaninya, karena budidaya jamur bukan suatu bisnis yang instan yang bisa menghasilkan keuntungan dengan cepat tetapi semuanya melalui proses. Ada kalanya dalam satu periode budidaya (kira-kira empat bulan) sangat menguntungkan, tetapi periode budidaya berikutnya justru merugikan. Dan..., tidak sedikit pula new comer yang berhasil, mereka itulah yang memang benar-benar entrepreneur sejati.

'netters..., semua resiko yang mungkin terjadi dalam bisnis budidaya jamur sebenarnya bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan, semua resiko itu dapat diminimalkan. Hanya untuk dapat meminimalkan resiko tersebut perlu ketekunan, keuletan, kesabaran dan pantang menyerah serta jangan lupa sering-seringlah anda berdiskusi dengan para pelaku usaha budidaya jamur yang benar-benar menguasai baik teori maupun prakteknya. Hal ini penting dilakukan karena 90% ilmu yang bisa diterapkan dalam bisnis budidaya jamur diperoleh secara lerning by doing, sisanya dapat diperoleh dari buku-buku atau kursus-kursus. ’netters..., jadi siapkan diri anda secara matang baik lahir maupun batin bila anda ingin ambil bagian dalam usaha budidaya jamur yang penuh tantangan ini dan bersiaplah untuk menyongsong kesuksesan yang ada didepan anda.

Senin, 13 April 2009

Peluang usaha pada rantai pemasok (3)

Bahan Pendukung

’netters..., bahan baku pendukung di dalam agrobisnis jamur yang menggunakan baglog antara lain kapur (CaCO3), gipsum (CaSO4), plastik untuk baglog, plastik untuk packing jamur, majun (kapas sintetis) dan karet gelang. KemudianPln baku pendukung di dalam agrobisnis jamur yang menggunakan baglog antara lain kapur (CaCOanjur rusak dan akan membutuhkan w bagaimana peluang usaha bahan baku pendukung tersebut...? Jawabannya sama cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut. Misalnya kapur (CaCO3), di daerah Cisarua Lembang harganya Rp. 600/kg – Rp. 700/kg sementara di sentra produksi kapur di Padalarang yang tidak begitu jauh jaraknya harganya hanya Rp. 250/kg, sebuah rentang perbedaan harga yang cukup jauh, ini jelas sebuah peluang usaha. Demikian pula halnya dengan majun (kapas sintetis) harganya Rp. 5500/kg sementara di daerah Cigondewah Bandung dan di daerah Bale Endah Kab. Bandung harganya hanya Rp. 3500/kg.

Sekarang kalau plastik bagaimana...? ’netters..., supplier yang ’bermain’ di plastik sangat sedikit sekali mungkin hanya dua-tiga orang saja, hal ini disebabkan karena para ’pemakai’ plastik sangat fanatik dengan merek plastik tertentu dan akses ke pabrik plastik tersebut atau ditributornya masih merupakan ’black box’. Jadi kalau begitu plastik bukan peluang usaha yang menarik dong...! Eiiits..., tunggu dulu ’netters..., menghadapi kondisi seperti ini kita harus sedikit berimprovisasi dan berinovasi. Kalau ’netters pernah melihat proses pengantongan dan pengepresan baglog (sunda : ’ngadedel’) mungkin ’netters akan dapat ide. Serbuk kayu yang sudah dicampur dengan bahan-bahan lainnya dimasukkan kedalam kantong plastik kemuidan bagian bawah kantong plastik dilipat kedalam sehingga kantong plastik (baglog) tersebut berbentuk silinder dan dipadatkan dengan mesin pres atau secara manual menggunakan tangan dengan cara dipukul-pukul agar padat. Dari kegiatan tersebut, proses melipat bagian bawah plastik merupakan proses yang relatif agak sulit, disinilah improvisasi dan inovasi kita diperlukan.

’netters..., kita dapat merancang dan memesan plastik untuk baglog yang bagian bawahnya sudah terlipat sehingga proses pengantongan dan pengepresan akan semakin mudah dan hemat waktu. ’netters..., saya sudah pernah merancang dan memesan plastik seperti itu ke pabrik plastik di daerah Bandung Selatan, dari 100 kg plastik yang diberikan pabrik sebagai sampel, 25 kg saya bagikan ke beberapa rekan produsen baglog sebagai sampel. Siang harinya beberapa rekan produsen datang ke tempat saya berebut membeli sisa plastik sebanyak 75 kg, hmm... laris manis habis dalam hitungan menit. Hanya sayang ’netters..., untuk pesan plastik seperti itu pabrik menetapkan minimum order sebesar 2 ton dengan cara pembayaran 100% dimuka sementara modal yang saya miliki pun terbatas (mungkin karena pabrik belum percaya sama saya kali ya...). Nah... ’netters..., barangkali diantara anda ada yang tertarik dengan peluang usaha tersebut dan punya relasi dengan pabrik plastik yang dapat memberikan kebijakan yang lebih lunak, lumayan tuh...

Ok ’netters..., sampai ketemu lagi pada artikel berikutnya...

Minggu, 05 April 2009

Peluang usaha pada rantai pemasok (2)

Dedak

’netters..., bagaimana peluang usaha bahan baku yang lainnya seperti dedak? Jawabannya sami mawon... alias podo bae... tidak jauh seperti serbuk kayu. Demand-nya gimana...? Besar boss...!. Saya pernah melakukan riset kecil-kecilan, saya mewawancara sembilan orang supplier dedak di daerah Cisarua – Lembang pada waktu yang berlainan. Saya tanya mereka rata-rata dalam satu hari biasa memasok dedak berapa kuintal, jawabannya ada yang di bawah satu ton tetapi kebanyakan justru diatas satu ton. Setelah dihitung-hitung totalnya ke sembilan orang supplier tersebut, woaalaah... suatu angka yang fantastis..., total supply dedak per hari bisa mencapai 15 - 20 ton tergantung pada musimnya. Hmm..., benar tidak ya angka ini...?, dipikir-pikir kebutuhan dedak untuk saya sendiri kalau lagi berproduksi setiap harinya 1 – 1.5 ton, belum lagi produsen baglog jamur yang lainnya.

’netters..., kali ini untuk mengetahui dimana sumber-sumber penghasil dedak, saya langsung mendatangi pedagang besar beras di Pasar Induk Caringin – Bandung. Saya tanya langsung pemiliknya apa beliau juga menjual dedak, jawabannya pasti anda juga sudah bisa membayangkan, ”Teu aya..., kasep..., bageur..., peryogina seueur?, pami sakedik mah eta we satengah karung ewang sareng ’neng” sambil menunjuk karung kecil penuh dedak, hmm... ternyata ada fans juga di pasar... (ih... narsis banget...). Pemilik bilang kalau dia tidak menjual dedak, tapi kalau perlunya sedikit dia bersedia membagi dua dedaknya yang cuma sekarung kecil. Saya katakan kalau saya perlunya cukup banyak. Dari hasil ngobrol-ngrobrol dengan ibu pedagang besar beras, saya mendapatkan beberapa alamat penggilingan padi yang besar yang tersebar mulai dari Majalengka, Pamanukan, Subang, Cikampek, Kerawang, Garut, Tasik, Ciamis dan Cianjur. Akan memakan waktu yang lama kalau saya sendirian men-survei tempat-tempat itu. Akhirnya sekalian saja saya tawarkan pada ibu pedagang besar beras untuk kerjasama. Konsepnya seperti ini, kalau muatan beras truk tronton miliknya tidak penuh maka space truk yang kosong diisi dengan dedak. Sementara harga dasar dedaknya mengikuti harga pasaran di tempat penggilingan padi. Pokoknya saling menguntungkan dan tanpa mengganggu aktifitas utama beliau.

Setelah beberapa kali pengiriman, dihitung-hitung saya bisa menghemat Rp.100 – Rp.150 / kg dedak. Sekarang ’netters bayangkan..., kalau anda dapat meraih 20% saja pangsa pasar dedak di Cisarua – Lembang, maka dengan hitung-hitungan sederhana :

· Rp.100/kg x (20% x 15 ton) = Rp. 300.000

· Rp.100/kg x (20% x 20 ton) = Rp. 400.000

Penghasilan kotor anda berkisar antara Rp. 300.000 - Rp. 400.000 / hari. Tanpa anda harus melakukan pekerjaan yang sangat berat. ’netters..., memang kenyataannya tidak selalu semudah seperti yang saya ceritakan, sering juga truk pengangkut tidak membawa dedak karena penuh dengan beras atau berat dedak tidak sesuai dengan kenyataannya setelah kita timbang. Tapi hal itu bukan suatu merupakan halangan kan? Itu semua bisa kita antisipasi dengan menyewa tempat untuk penampungan dan menjalin kerjasama yang baik dengan beberapa pedagang beras lainnya atau langsung dengan pemilik penggilingan padi.

Jumat, 03 April 2009

Peluang usaha pada rantai pemasok (1)

Hello ’netters...,

Mudah-mudahan kabar baik selalu menyertai anda semua amien..., saya doakan...

Ok sesuai janji saya kemarin, mari kita lanjutkan obrolan kita seputar agrobisnis budidaya jamur.

’netters..., budidaya jamur berdasarkan media tanamnya secara umum dapat digolongkan ke dalam dua golongan : pertama, budidaya jamur kompos (mis. Jamur Merang (volvariella volvacea), Jamur Kancing/Champignon (agaricus bisporus), dll); kedua, budidaya jamur kayu (mis. Jamur Tiram (pleurotus ostreatus), Jamur Shitake (lentinula edodes), Jamur Lingzhi (ganoderma lucidum), dll ).

Nah..., bahan baku dalam budidaya jamur khususnya jamur kayu antara lain serbuk kayu, dedak dan kapur. Bagaimana anda bisa menyikapi hal ini sebagai suatu peluang usaha? Sebenarnya tidaklah terlalu sulit, coba ’netters main dan jalan-jalan ke sentra budidaya jamur tiram di Cisarua – Lembang, lihat dan ngobrol-ngobrol dengan para pelaku usaha budidaya jamur tiram disana, anda ’capture’ bagaimana aktifitas ekonomi yang berlangsung. Saya yakin ’netters akan menemukan celah yang dapat menjadi peluang usaha. Salah satunya, adalah kendala sulitnya mereka mendapatkan bahan baku serbuk kayu dan dedak, apalagi kalau sedang musim hujan. Mengapa hal itu bisa terjadi?.

Serbuk Kayu

Kalau ’netters telaah lebih jauh dan melakukan riset sederhana akan didapatkan jawabannya : pertama, pelaku usaha budidaya jamur tiram jumlahnya ratusan; kedua, supplier serbuk kayu jumlahnya sedikit hanya beberapa orang saja bisa dihitung dengan jari tangan; ketiga, ketersediaan serbuk kayu yang kian hari kian sulit didapatkan. Lalu dimana peluang usahanya..., wong sudah jelas sumbernya juga sulit..., orang aneh...? Sabar..., sekarang coba ’netters kaji lebih dalam lagi, demand terhadap serbuk kayu sangat besar itu sudah jelas, tetapi kenapa supply-nya sedikit tentu jawabannya karena serbuk kayu sudah semakin sulit dicari. Apa memang benar serbuk kayu sulit dicari?, rasa-rasanya tidak juga, logikanya selama pembangunan terus berlangsung kayu masih tetap diperlukan, artinya serbuk kayu pun tetap tersedia.

Kalau ’netters berkesempatan ’chit-chat’ dengan beberapa supplier serbuk kayu, mungkin ’netters akan tersenyum..., ternyata para supplier itu mendapatkan serbuk kayu dari penggergajian-penggergajian yang sama di daerah Cianjur, Jonggol, Subang, Garut dan Sumedang. Ya itulah..., lagi-lagi faktor ’latah’..., tidak mau susah..., sampai akhirnya tidak jarang terjadi rebutan serbuk kayu diantara mereka. Pernah beberapa waktu yang lalu saya berhenti memproduksi baglog bibit dan baglog budidaya untuk jamur tiram karena tidak ada pasokan serbuk kayu. Hal ini berdampak pada pasanan baglog bibit dan baglog budidaya tidak terpenuhi, akhirnya siklus budidaya yang dilakukan oleh petani pembeli produk saya pun bergeser, yang biasanya dalam satu tahun bisa dilakukan tiga sampai empat kali saat itu hanya dua kali saja.

Menanggapi kondisi ini akhirnya saya pun turun gunung jalan-jalan mencari solusinya. ’netters mau tau apa yang saya lakukan...?, saya masuk ke sebuah cafe di daerah Bandung Utara, saya pesan secangkir frappuccino dingin dengan float ditambah sepotong rum raissin cheese cake...hmm....mantraap...(ihh...orang aneh..., ini mau ngopi, mau dating apa mau nyari solusi...), tenang ’netters..., itu bagian dari usaha saya mencari solusi...biar pikiran rileks gitu..., lalu saya coba pinjam yellow pages sama pelayan dan mulai pencarian. Saya cari toko/pengecer/distributor dengan kata kunci ”kayu”, saya catat alamat dan nomor teleponnya, saya coba hubungi mereka dan bilang kalau saya perlu kayu dengan ukuran yang memang tidak lazim. Hasilnya...? mereka bilang coba pesan saja ke penggergajian, karena ukuran kayu yang saya butuhkan tidak ada dan simsalabim adakadabraa...!!, sederet alamat penggergajian muncul walaupun tidak lengkap..., hmm... tinggal saya kelompokan alamat tersebut berdasarkan daerahnya dan meluncur. Saya coba survei mencari penggergajian sampai ke pelosok-pelosok mulai dari daerah Wanayasa, Sagala Herang, Subang, Pamanukan, Panjalu, Pacet, Majalaya, Samarang, Salawu hingga ke Salopa, wah... ternyata masih banyak penggergajian yang belum digarap para supplier serbuk kayu. Saya miris melihat serbuk kayu yang menggunung dibakar pemilik penggergajian, buat mereka itu adalah sampah.

’netters..., ada cerita menarik sewaktu saya ada di daerah Salopa, begitu Pak Haji pemilik penggergajian (sunda : panggesekan) mendengar cerita kalau saya perlu serbuk kayu, beliau langsung sujud syukur dan bilang kalau bisa hari itu juga serbuk kayu saya bawa... (haahh....yang bener aja... tidak ada persiapan sama sekali...), Pak Haji sudah berulangkali diprotes warga dan diperingati oleh aparat desa karena asap dari pembakaran serbuk kayu yang mengganggu masyarakat..., akhirnya dengan empat truk dan satu truk tronton serbuk kayu diangkut ke Cisarua – Lembang. Pak Haji tidak mau saya bayar, malah kendaraan yang saya bawa beliau muati dengan satu tandan pisang, belasan butir kelapa, singkong, wajit dan aneka macam makanan tradisional...he..he..he..alhamdulillah....

’netters..., dari peristiwa itu saya mendapat hikmah yang lain, sebenarnya untuk menjadi supplier serbuk kayu tidak harus memiliki modal yang besar, cukup karung untuk serbuk kayu, sejumlah uang untuk biaya akomodasi dan bayar pekerja, dan yang terpenting adalah hubungan baik yang selalu dibina dengan pemilik penggergajian. Caranya gimana...?, kita drop karung-karung ke beberapa penggergajian dan langsung bayarkan uang ke pemilik penggergajian (biasanya Rp.1000 – Rp. 1500 / karung 75kg), minta pemilik penggergajian untuk menghubungi kita bila serbuk kayu jumlahnya sudah cukup untuk dikirim (satu truk 150 – 180 karung), jangan lupa minta pula pemilik penggergajian mencarikan truk kosong yang sedang dalam perjalanan pulang ke arah kota dan melewati daerah tempat budidaya jamur yang akan kita supply serbuk kayunya, sementara ongkos truk kita bayar di tempat tujuan. Kalau saya..., tiap dua minggu atau sebulan sekali ’silaturahmi’ ke pemilik penggergajian sambil bawa oleh-oleh ’jamur’ dan kalau ada makanan khas Bandung (seperti batagor, pisang molen, kue-kue... atau apa saja...) untuk dimakan bareng Pak Haji sekeluarga dan para pekerjanya...hmm...nikmat.., dijamin deh...serbuk kayu pun tidak akan dibakar lagi atau dijual ke orang lain. Tapi sayang karena kesibukan saya dalam beberapa kegiatan saya tidak bisa melakukannya lagi sekarang.

’netters..., serbuk kayu di daerah Cisarua – Lembang dijual oleh para supplier dengan harga mulai dari Rp. 3800/karung sampai Rp. 4500/karung, tergantung penuh tidaknya karung tersebut. Kebayangkan kira-kira berapa keuntungan bersih yang bisa diperoleh supplier setelah dipotong ongkos truk dan biaya lain-lain. Supplier pun tidak perlu menyiapkan lahan untuk penampungan, karena serbuk kayu bisa kapan saja dikirimkan langsung ke pembeli. Kebutuhan akan serbuk kayu sebagai bahan baku sangat besar, sebagai gambaran pemakaian serbuk kayu pada fasilitas produksi yang saya kelola, setiap harinya membutuhkan 1 – 2 truk serbuk kayu (itupun kapasitas produksi yang dipakai hanya setengah dari kapasitas produksi terpasang...), belum pelaku usaha yang lainya. Wah..., asyik juga yah jadi supplier serbuk kayu...!? Ya..., bagi anda yang mau dan punya motivasi yang kuat.

’netters..., bagaimana kalau serbuk kayu memang benar-benar sudah tidak ada lagi di jagat Indonesia kita tercinta ini...? Tenang..., tenang..., anda hubungi saya melalui

’japri’ dan saya akan buka ’primbon’ riset saya dulu (maklum lupa lagi...), saya sudah melakukan banyak eksperimen dengan bahan baku subtitusi dan memberikan hasil yang baik bahkan ada yang lebih baik lagi dibandingkan serbuk kayu.