Jumat, 03 April 2009

Peluang usaha pada rantai pemasok (1)

Hello ’netters...,

Mudah-mudahan kabar baik selalu menyertai anda semua amien..., saya doakan...

Ok sesuai janji saya kemarin, mari kita lanjutkan obrolan kita seputar agrobisnis budidaya jamur.

’netters..., budidaya jamur berdasarkan media tanamnya secara umum dapat digolongkan ke dalam dua golongan : pertama, budidaya jamur kompos (mis. Jamur Merang (volvariella volvacea), Jamur Kancing/Champignon (agaricus bisporus), dll); kedua, budidaya jamur kayu (mis. Jamur Tiram (pleurotus ostreatus), Jamur Shitake (lentinula edodes), Jamur Lingzhi (ganoderma lucidum), dll ).

Nah..., bahan baku dalam budidaya jamur khususnya jamur kayu antara lain serbuk kayu, dedak dan kapur. Bagaimana anda bisa menyikapi hal ini sebagai suatu peluang usaha? Sebenarnya tidaklah terlalu sulit, coba ’netters main dan jalan-jalan ke sentra budidaya jamur tiram di Cisarua – Lembang, lihat dan ngobrol-ngobrol dengan para pelaku usaha budidaya jamur tiram disana, anda ’capture’ bagaimana aktifitas ekonomi yang berlangsung. Saya yakin ’netters akan menemukan celah yang dapat menjadi peluang usaha. Salah satunya, adalah kendala sulitnya mereka mendapatkan bahan baku serbuk kayu dan dedak, apalagi kalau sedang musim hujan. Mengapa hal itu bisa terjadi?.

Serbuk Kayu

Kalau ’netters telaah lebih jauh dan melakukan riset sederhana akan didapatkan jawabannya : pertama, pelaku usaha budidaya jamur tiram jumlahnya ratusan; kedua, supplier serbuk kayu jumlahnya sedikit hanya beberapa orang saja bisa dihitung dengan jari tangan; ketiga, ketersediaan serbuk kayu yang kian hari kian sulit didapatkan. Lalu dimana peluang usahanya..., wong sudah jelas sumbernya juga sulit..., orang aneh...? Sabar..., sekarang coba ’netters kaji lebih dalam lagi, demand terhadap serbuk kayu sangat besar itu sudah jelas, tetapi kenapa supply-nya sedikit tentu jawabannya karena serbuk kayu sudah semakin sulit dicari. Apa memang benar serbuk kayu sulit dicari?, rasa-rasanya tidak juga, logikanya selama pembangunan terus berlangsung kayu masih tetap diperlukan, artinya serbuk kayu pun tetap tersedia.

Kalau ’netters berkesempatan ’chit-chat’ dengan beberapa supplier serbuk kayu, mungkin ’netters akan tersenyum..., ternyata para supplier itu mendapatkan serbuk kayu dari penggergajian-penggergajian yang sama di daerah Cianjur, Jonggol, Subang, Garut dan Sumedang. Ya itulah..., lagi-lagi faktor ’latah’..., tidak mau susah..., sampai akhirnya tidak jarang terjadi rebutan serbuk kayu diantara mereka. Pernah beberapa waktu yang lalu saya berhenti memproduksi baglog bibit dan baglog budidaya untuk jamur tiram karena tidak ada pasokan serbuk kayu. Hal ini berdampak pada pasanan baglog bibit dan baglog budidaya tidak terpenuhi, akhirnya siklus budidaya yang dilakukan oleh petani pembeli produk saya pun bergeser, yang biasanya dalam satu tahun bisa dilakukan tiga sampai empat kali saat itu hanya dua kali saja.

Menanggapi kondisi ini akhirnya saya pun turun gunung jalan-jalan mencari solusinya. ’netters mau tau apa yang saya lakukan...?, saya masuk ke sebuah cafe di daerah Bandung Utara, saya pesan secangkir frappuccino dingin dengan float ditambah sepotong rum raissin cheese cake...hmm....mantraap...(ihh...orang aneh..., ini mau ngopi, mau dating apa mau nyari solusi...), tenang ’netters..., itu bagian dari usaha saya mencari solusi...biar pikiran rileks gitu..., lalu saya coba pinjam yellow pages sama pelayan dan mulai pencarian. Saya cari toko/pengecer/distributor dengan kata kunci ”kayu”, saya catat alamat dan nomor teleponnya, saya coba hubungi mereka dan bilang kalau saya perlu kayu dengan ukuran yang memang tidak lazim. Hasilnya...? mereka bilang coba pesan saja ke penggergajian, karena ukuran kayu yang saya butuhkan tidak ada dan simsalabim adakadabraa...!!, sederet alamat penggergajian muncul walaupun tidak lengkap..., hmm... tinggal saya kelompokan alamat tersebut berdasarkan daerahnya dan meluncur. Saya coba survei mencari penggergajian sampai ke pelosok-pelosok mulai dari daerah Wanayasa, Sagala Herang, Subang, Pamanukan, Panjalu, Pacet, Majalaya, Samarang, Salawu hingga ke Salopa, wah... ternyata masih banyak penggergajian yang belum digarap para supplier serbuk kayu. Saya miris melihat serbuk kayu yang menggunung dibakar pemilik penggergajian, buat mereka itu adalah sampah.

’netters..., ada cerita menarik sewaktu saya ada di daerah Salopa, begitu Pak Haji pemilik penggergajian (sunda : panggesekan) mendengar cerita kalau saya perlu serbuk kayu, beliau langsung sujud syukur dan bilang kalau bisa hari itu juga serbuk kayu saya bawa... (haahh....yang bener aja... tidak ada persiapan sama sekali...), Pak Haji sudah berulangkali diprotes warga dan diperingati oleh aparat desa karena asap dari pembakaran serbuk kayu yang mengganggu masyarakat..., akhirnya dengan empat truk dan satu truk tronton serbuk kayu diangkut ke Cisarua – Lembang. Pak Haji tidak mau saya bayar, malah kendaraan yang saya bawa beliau muati dengan satu tandan pisang, belasan butir kelapa, singkong, wajit dan aneka macam makanan tradisional...he..he..he..alhamdulillah....

’netters..., dari peristiwa itu saya mendapat hikmah yang lain, sebenarnya untuk menjadi supplier serbuk kayu tidak harus memiliki modal yang besar, cukup karung untuk serbuk kayu, sejumlah uang untuk biaya akomodasi dan bayar pekerja, dan yang terpenting adalah hubungan baik yang selalu dibina dengan pemilik penggergajian. Caranya gimana...?, kita drop karung-karung ke beberapa penggergajian dan langsung bayarkan uang ke pemilik penggergajian (biasanya Rp.1000 – Rp. 1500 / karung 75kg), minta pemilik penggergajian untuk menghubungi kita bila serbuk kayu jumlahnya sudah cukup untuk dikirim (satu truk 150 – 180 karung), jangan lupa minta pula pemilik penggergajian mencarikan truk kosong yang sedang dalam perjalanan pulang ke arah kota dan melewati daerah tempat budidaya jamur yang akan kita supply serbuk kayunya, sementara ongkos truk kita bayar di tempat tujuan. Kalau saya..., tiap dua minggu atau sebulan sekali ’silaturahmi’ ke pemilik penggergajian sambil bawa oleh-oleh ’jamur’ dan kalau ada makanan khas Bandung (seperti batagor, pisang molen, kue-kue... atau apa saja...) untuk dimakan bareng Pak Haji sekeluarga dan para pekerjanya...hmm...nikmat.., dijamin deh...serbuk kayu pun tidak akan dibakar lagi atau dijual ke orang lain. Tapi sayang karena kesibukan saya dalam beberapa kegiatan saya tidak bisa melakukannya lagi sekarang.

’netters..., serbuk kayu di daerah Cisarua – Lembang dijual oleh para supplier dengan harga mulai dari Rp. 3800/karung sampai Rp. 4500/karung, tergantung penuh tidaknya karung tersebut. Kebayangkan kira-kira berapa keuntungan bersih yang bisa diperoleh supplier setelah dipotong ongkos truk dan biaya lain-lain. Supplier pun tidak perlu menyiapkan lahan untuk penampungan, karena serbuk kayu bisa kapan saja dikirimkan langsung ke pembeli. Kebutuhan akan serbuk kayu sebagai bahan baku sangat besar, sebagai gambaran pemakaian serbuk kayu pada fasilitas produksi yang saya kelola, setiap harinya membutuhkan 1 – 2 truk serbuk kayu (itupun kapasitas produksi yang dipakai hanya setengah dari kapasitas produksi terpasang...), belum pelaku usaha yang lainya. Wah..., asyik juga yah jadi supplier serbuk kayu...!? Ya..., bagi anda yang mau dan punya motivasi yang kuat.

’netters..., bagaimana kalau serbuk kayu memang benar-benar sudah tidak ada lagi di jagat Indonesia kita tercinta ini...? Tenang..., tenang..., anda hubungi saya melalui

’japri’ dan saya akan buka ’primbon’ riset saya dulu (maklum lupa lagi...), saya sudah melakukan banyak eksperimen dengan bahan baku subtitusi dan memberikan hasil yang baik bahkan ada yang lebih baik lagi dibandingkan serbuk kayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar